Sepak Terjang Sultan
Thaha Saifuddin, Pahlawan Nasional Jambi dalam Melawan Belanda Pahlawan
nasional Sultan Thaha Saifuddin diapit dua Harimau Sumatera yang merupakan
tunggangannya. Sultan Thaha Saifuddin merupakan pahlawan nasional yang
dikukuhkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 079/TK/Tahun 1977 tanggal 24
Oktober 1977. Penganugerahan gelar itu sebagai penghargaan atas kepahlawanannya
dalam tugas perjuangan membela bangsa dan negara.
Penghargaan itu memang
layak karena masa perjuangan Sultan Thaha melawan penjajah Belanda menelan
waktu yang cukup lama, yaitu 46 tahun (1858-1904). Perlawanan sedemikian lama
dengan luas cakupan wilayah yang melebar membutuhkan penanganan dan strategi
mantap sehingga semua sumber daya dan komponen pendukung berada dalam jejaring
koordinasi dapat berfungsi pada status dan kedudukannya masing-masing. Katakanlah
sebagai suatu sistem, perlawanan Sultan dalam masa yang begitu lama sudah tentu
ditopang oleh kemampuan strategis dan manajerial yang mumpuni.
Selain kemampuan
mendayagunakan sumber daya perangkat perang atau pasukan, dalam suatu perang
gerilya dukungan lingkungan masyarakat di kantong-kantong perlawanan ikut
menentukan sifat gerilya itu sendiri. Kekuatan pemukul pada serangan tiba-tiba
atau penghadangan pasukan Sultan terhadap pasukan dan patrol Belanda, selain
oleh kemampuan "hit and run", juga didukung kemampuan strategi dari
mata-mata intelijen dan analisis kekuatan sendiri maupun lawan.
Pengejaran
Belanda terhadap mobilitas kedudukan Sultan sebagai pemimpin besar pasukan
Fisabilillah yang dalam waktu lama baru dapat dideteksi Belanda sejak
dikuasainya Muaro Tembesi di tahun 1901. Itu pun baru tahun 1903 Belanda punya
keyakinan akan posisi positif keberadaan Sultan, yaitu di Pematang Tanah Garo.
Terlepas dari legenda akan adanya tunggangan (kendaraan) dalam wujud dua ekor
harimau peliharaan Sultan, yang jelas Sultan Thaha Saifuddin (STS) telah
menunjukan kemampuannya sebagai seorang panglima.
Seorang pemimpin perang
gerilya dengan strateginya yang terkenal. Penuh Inspirasi dan Kobarkan Semangat
Pertama, bertemu langsung dengan (utusan) Belanda dalam setiap perundingan yang
digagas Belanda. Perundingan ini sebenarnya merupakan wahana lobi dan menekan
Sultan untuk takluk dan diikat perjanjian. Pantangan ini sangat mendukung
komitmen Sultan pada strategi perjuangan Sultan. Kedua, strategi perjuangan
yang dipatri sumpah setia untuk memegang teguh bahwa “Sultan tidak mati". Kendati
keteguhan para pengikut Sultan tersebut menimbulkan berbagai versi cerita
sampai kepada ketidakpercayaan bahwa yang dimakamkan di Muaro Tebo bukan jasad
STS, tetapi jasad salah seorang panglima atau pengawalnya, Belanda jelas tidak
dapat memastikan pula karena secara utuh. Mereka tidak mengenal wajah dan sosok
STS karena Sultan berpantang berhadapan muka dengan Belanda. Ketiga, strategi
pemindahan secara cepat dan persebaran front perlawanan menunjukan stensel
perlawanan secara terorganisir yang terangkai dalam komunitas fleksibel dan
langsung baik melalui tipe berantai maupun melalui cara tak kenal lelah.
Keempat, mengadakan hubungan "perdagangan" dengan pihak perwakilan
dagang atau perwakilan negara-negara seperti Turki, Inggris atau Amerika yang
ada di Semenanjung Malaka melalui sistem barter hasil hutan dan perkebunan
dengan peralatan persenjataan maupun suplai kebutuhan hidup Sultan dan
pasukannya di daerah uluan DAS Batanghari. Penggunaan kamuflase perahu/kapal dagang (kapal canon/kenen) ternyata cukup
ampuh untuk melewati barikade dan patrol Belanda di DAS Ilir Batanghari,
termasuk pusat markas Belanda di Jambi maupun di Muaro Kumpeh.
Simpul-simpul
pasokan kebutuhan Sultan dipegang oleh Pangeran Wiro Kesumo selain sebagai
anggota Pepatih Dalam, juga terakhir adalah sahabat dan besan Sultan Thaha
Saifuddin serta beberapa orang lainnya. Alasan perlawanan Sultan Thaha
Saifuddin bukan saja oleh adanya markas Belanda di Kuaro Kumpeh atau tambahan
kekuatan pasukan Belanda dari Batavia ke Muaro Kumpeh dibawah pimpinan Mayor
Van Langen dengan 30 buah kapal perang dan 800 personel serdadu Belanda tanggal
25 September 1858. Tetapi jauh melebihi itu.
Tekanan penguasaan
Belanda melalui perjanjian Sungai Baung (Rawas) tanggal 14 November 1833 dengan
Letkol Michiels ditandatangani Sultan Muhammad Fachruddin begitu menyakitkan
hati Sultan Thaha. Betapa tidak, Belanda menguasai dan melindungi Kerajaan
Jambi. Bahkan penguasaan itu memberi kebebasan kerajaan Belanda untuk
mendirikan tempat pertahanan di mana saja yang menurut mereka strategis dan
dapat mendukung kepentingan Belanda.
Dampak perjanjian ini berdirilah markas
patrol Belanda di Muaro Kumpeh yang sejak semula dipandang strategis sebagai
pintu keluar masuknya pelayaran DAS Batanghari dan cukup taktis untuk
pengawasan pusat pemerintahan Kesultanan Jambi. Baik strata pertahanan
maupun ekonomi melalui perdagangan hasil humi, hasil perkebunan dan hasil hutan
Jambi . Perjanjian Sungai Baung ini rupanya oleh penguasa Belanda Résiden
Palembang, yaitu PROEFORIUT dikukuhkan kedalam bentuk traktat pada tanggal 15
Desember 1834, sekaligus mempertegas ikatan penguasaan yang lebih melebar
dengan detail menambah ekopansi sebagaimana termuat kemudian dalam perjanjian
tambahan yang kemudian disyahkan oleh parlemen Belanda tanggal 21 April 1835.
Perjanjian ini ditandatangani Sultan Muhamad Fachruddin dan Pangeran Ratu
Martaningrat Abdurrahman serta disaksikan para pembesar kerajaan dan keluarga istana
Tanah Pilih Pemerintah Belanda Perjanjian tanggal 21 April 1835 tersebut
memberikan kewenangan memungut cukai eksport-import barang-barang dan untuk itu
Sultan dan Pangeran Ratu akan menerima f 8000 setahun sebagai ganti rugi.
Pemerintah Belanda memiliki hak monopoli penjualan garam. Yang menyakitkan dan
ironinya dalam perjanjian tersebut dinyatakan Jambi menjadi bagian dari
Pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu pemerintah Belanda tidak mencampuri
urusan ketatanegaraan dalam kerajaan Jambi dan tidak mengganggu adat istiadat
kecuali jika ada penggelapan yang berkenaan dengan cukai yang menjual hak dan
kewenangan pemerintah Belanda.
Aplikasi perjanjian Sultan Jambi dengan
pemerintah Belarda itu menjadi bahan kajian dan rekaman perbandingan dalam diri
Sultan, baik ketika menuntut ilmu di Tanah Rencong Aceh Darussalam maupun dari
perjalanan muhibahnya ketika Sultan diangkat sebagai Pangeran Ratu mencampingi
pamannya yang dinobatkan sebagai mpengganti Sultan Muhamad Fachruddin yaitu
Sultan Abdurrahman Nazaruddin (1841-1855). Pada masa Raden Thaha menjadi
Pangeran Ratu, dia menyaksikan dan merasakan campur tangan Belanda terlalu
jauh, yang berlindung pada perjanjian-perjanjian yang ditandaiagani ayahnya
(Sultan Muhamad Fachruddin). Jiwa patriotnya mulai menggelembung. Tanpa
musyawarah dengan sang pamannya sebagai Sultan, Pangeran Ratu Thaha Saifuddin
mengadakan kontrak dengan misi dagang Amerika (Walter Gibson) dalam pembelian
senjata. Perjanjian ini merupakan wujud persiapan perlawanannya untuk mengusir
Belanda dari Jambi.
Upaya Pangeran Ratu Thaha Saifuddin dalam mempersiapkan
perlawanan bersenjata dan pembangkangan serta penghindaran pemungutan cukai
diketahui Belanda, Walter Gibson ditangkap dan dibawa ke Batavia. Asisten
Residen Strom Vans' Graven Sande dari Palembang dikirim untuk menginspeksi
kantor Belanda di Muaro Kumpeh dan menghadap Sultan Abdurrahman Nazaruddin
untuk memperingati Sultan agar mematuhi perjanjian (1834,1835) dan melarang
memperdagangkan alat persenjataan. Peringatan ini tidak digubris. Orang Jambi
tetap melakukan penghindaran diri dari pemungutan cukai. Orang Palembang tetap
mengadakan hubungan dalam jual-beli bahan peledak, mesiu dan senjata api.
Pengawasan Belanda terhadap Kesultanan Jambi semakin keras dan ketat. Akibatnya
tekanan-tekanan Belanda itu menimbulkan ketidaksenangan dan menunaikan
perlawanan, kendati masih terselubung karena perlawanan tersebut tidak
diperkuat oleh peralatan dan perlengkapan yang sebanding dengan peralatan
Belanda. Dengan demikian, pada awalnya perlawanan rakyat Jambi dengan Belanda
masih bersifat pemboikotan penjualan hasil bumi, hasil hutan maupun perdagangan
lain yang dimonopoli Belanda. Akibat pemboikotan ini, kantor dagang di Muaro
Kumpeh ditutup karena tidak ada transaksi penjualan hasil bumi kepada Belanda.
Sudah tentu kondisi ini tidak diinginkan Belanda. Berbagai upaya untuk
mengadakan perjanjian baru terus dilakukan kendati tidak mendapat tanggapaan,
apalagi Pangeran Ratu Thaha Saifuddin dalam kewenangannya sebagai Perdana
Menteri semakin membatasi kemungkinan diadakannya pertemuan dengan Belanda.
Ketika Pangeran Ratu Thaha Saifuddin dinobatkan
menjadi Sultan pada tahun 1856, ia dibuat melalui perjanjian, adalah
pelanggaran terhadap kedaulatan Sultan yang mengarah pada jalan pencaplokan
kesultanan. Untuk itu dengan berani Sultan kemudian membatalkan semua
perjanjian dengan Belanda yang dibuat secara paksa oleh ayahnya. Sikap
perlawanan yang ditujukan Sultan sangat mengejutkan Belanda. Apalagi beberapa
tahun kemudian, yakni 1857 Belanda mengetahui Sultan mengutus Pangeran Ratu
Martaningrat menyampaikan surat kepada Sultan Turki (masa itu diakui sebagai
khalifah dunia Islam) melalui Perwakilan Kesultanan Turki di Singapura untuk
mengumumkan larangan campur tangan atas urusan dalam negeri Jambi bagi semua
kekuatan dikawasan itu (Taufik Abdullah, 1984).
Tak ada jalan lain, Belanda
mengancam akan menangkap Sultan dan membuangnya ke Batavia. Sultan tak gentar,
malah mempersiapkan pasukan untuk menyerang Muaro Kumpeh. Kembali secara licik
Belanda menawarkan perundingan dan sementara perundingan dalam proses Belanda
memperkuat diri dengan mendatangkan kapal perang dengan 800 personil ke Muaro
Kumpeh pada akhir Agustus 1858. Perundingan gagal dan kemudian Belanda
memutuskan mengirim pasukan ke Jambi dan sekaligus mengultinatum.
Kemudian,
Sultan Thaha berpikir selama 2x24 jam untuk menandatngani perjanjian baru.
Apabila menolak, Sultan akan diganti dan akan diasingkan ke Batavia. Ultimatum
dan pemaksaan ini dijawab Sultan - Kerajaan Jambi adalah hak milik rakyat Jambi
dan akan kami pertahankan dari perjanjian atau perkosaan oleh siapapun juga
dengan tetesan darah yang penghabisan, tidak ada pedoman yang lebih celaka dari
pada ketakutan (A. Mekti Nasrudin.1986). Sultan semakin gigih mempersiapkan
perlawanan. Tanggal 25 September 1858, Mayor Van Langen dengan kekuatan
militernya menyerbu Jambi dan Sultan pun tak tinggal diam.
Dua hari pertempuran
sengit terjadi dan pasukan Sultan terpaksa mundur setelah berhasil
menenggelamkan kapal perang Houtman ke dasar Sungai Batanghari. Istana Tanah
Pilih berhasil dikuasai Belanda setelah di bumihanguskan oleh Sultan sendiri.
Sebelum terjadinya penyerangan Belanda ke Tanah Pilih Jambi, sebenarnya Sultan
Thaha Saifuddin, telah mengadakan pertemuan dengan semua Pangeran dan Pembesar
Kerajaan Jambi, membahas persiapan bahab makanan yang cukup dibasis-basis
pedalaman. Mereka juga bertekad tidak akan menyerah kepada Belanda tidak
berkhianat kepada teman seperjuangan maupun kepada negeri. Kesiapan yang
dilakukan dari sisi perlawanan rakyat tersebut menjadi proses penggeseran pusat
pemerintahan dan perlawanan kehulu DAS Batanghari berjalan dengan baik. Muaro
Tembesi ditetapkan sebagai benteng pertahanan untuk menghadang Belanda dan juga
sebagai Markas Kemando Pusat Perlawanan, sebagian lain ke Lubuk Ruso dan Dusun
Tengah.
Untuk menjalankan roda pemerintahan Sultan Thaha di Muaro
Tembesi, menunjuk Pangeran Hadi sebagai Kepala Bala Tentara. Pangeran Singo
sebagai Kepala Pemerintahan Sipil dan Pangeran Lamong dipercaya menjabat Kepala
Keuangan (Zuraima, 1996). Sedangkan upaya perkuatan mesin perangnya selain
secara estafet menanamkan semangat juang kepada rakyat, Sultan juga mengadakan
kapal dagang pengangkut hasil Jambi ke luar negeri untuk ditukar dengan
senjata. Kapal tersebut diberi nama “Canon atau Kenen" yang sebagian besar
diawaki oleh pelaut Inggris. Kapal Kenen ini adalah kapal Inggris yang dirombak
sedemikian rupa oleh Pangeran Wiro Kusumo dan Temenggung Jafar, sehingga
menjadi kapal dagang.
Dengan bermodalkan persenjataan yang cukup modern di masa
itu, Sultan membangun sebuah pasukan Fisabilillah dengan kekuatan 20.000
personil dibawah asuhan pelatih yang didatangkan dari Aceh Darussalam. Pasukan
Fisabilillah ini kemudian dipecah kedalam tiga Front Komando (Usman Meng,
Zuraima;1996) yaitu; A. Wilayah Muaro Tembesi, Batang Tembesi, Serampas, Sungai
Tenang, Merangin, Mesumai, Tantan, Pelepat, Senamat, Tabir sampai ke Kerinci
berada dibawah komando Tumenggung Mangku Negoro dengan dibantu para Panglima
Pangeran H Umar bin Pangeran H Yasir dan Depati Parbo. B. Dari Muaro Tembesi,
sepanjang sungai Batanghari, Batang Tebo, Batang Bungo, Jujuhan, Tanjung
Simalidu langsung dipimpin oleh Sultan Thaha dan dibantu oleh saudaranya
Pangeran Diponegoro (Pangeran Dipo). C. Dari Muaro Tembesi kehilir Kumpeh.
Muaro Sabak dan Tungkal dibawah Komando Raden Mattaher, dibantu oleh Raden
Pamuk dan Raden Perang.
Kepada para panglima di masing-masing wilayah
diamanatkan untuk memobilisasi kekuatan rakyat, meningkatkan pertahanan di
wilayah masing-masing dan melakukan sabotase atau penyerangan tiba-tiba pada
pos-pos atau patrol Belanda tanpa menunggu komando Sultan. Bahkan aplikasi dari
kewenangan itu, Raden Anom berhasil merebut beberapa pucuk senjata di Balai
Pertemuan dan beberapa pos Belanda di Jambi (April 1895).
Serangan mendadak
juga terjadi di Sarolangun Rawas (Februari 1890) dibawah pimpinan H Kedemang
Rantau Panjang dibantu beberapa Hulubalang. Belanda sangat cerkejut oleh
serangan tiba-tiba seperti itu, apalagi didukung oleh peralatan yang cukup modern.
Tak heran bila Sultan melakukan pembagian wilayah penyerangan dan penyerangan
secara mobil, juga terhadap patrol-patrol yang dilakukan Belanda dalam upaya
pengejaran terhadap Sultan Thaha. Terjadilah pertempuran sporadic dari
masing-masing wailayah yang cukup memusingkan. Belanda terpaksa memperkuatnya
dengan mendatangkan marsose (pasukan istimewa) dari Aceh dan Palembang.
Sementara itu di tahun 1893, Pangeran Diponegoro dan Pangeran Kusen membangun
kantor Bea Cukai di Muaro Sungai Tembesi, Muaro Sikamis, Sungai Aro. Kegiatan
ini jelas memukul upaya Belanda memungut cukai atas barang-barang yang dibawa
dari pedalaman, sedangkan batter hasil Jambi yang dilakukan Sultan tetap
berjalan melalui DAS Batanghari tanpa dapat terdeteksi oleh Belanda. Rasanya pihak
Belanda pun tidak mengetahui bahwa di jantung Batang Tabir telah terbangun
rumah besak/istana di Pematang Tanah Garo yang sebagian bahan bangunannya
dipasok dari Jambi dan Singapura oleh Pangeran Wiro Kusumo. Bahkan sepertinya
lepas dari pengamatan Belanda di Jambi, Sultar pan sempat melaksanakan
pernikahan anaknya dengan Putra Said Idrus gelar Pangeran Wiro Kusumo di rumah
Besak Pematang Tanah Garo selama satu bulan secara meriah sekali.
Ketertutupan
pertahanan dan kediaman keluarga Sultan dari pengamatan Belanda ini antara lain
oleh adanya kesetiaan pengikut dan rakyatnya dan atau kemungkinan pengalihan
perhatian Belanda yang lebih besar ke daerah lain. Sumpah setia (Setih Setio)
para pengikut mengikuti anjuran Sultan bahwa "bila keadaan memaksa untuk
menyerah kepada Belanda, maka berpura-pura lah kamu menyerah. Namun bila ada
kesempatan Belanda menanyakan dimana tempat Suitan Thaha Saifuddin janganlah
kamu menunjukan tempat itu. Sumpah ini tetap dipegang kuat dan menyebabkan
Belanda kewalahan mendeteksi keberadaan Sultan dan pertahanannya.
Medan
pertempuran Sultan Thaha berpindah dari satu tempat ke tempat lain sesuai garis
strategis perlawanannya. Pusat komando tersebar dalam mobilitas kepemimpinan
seorang panglima yang konon didukung oleh kemampuan spiritual dan hewan
kendaraan (harimau) yang juga setia mendampingi Sultan bergerak dari satu front
ke front yang lain. Menghadapi ketidakmampuan operasi militer belanda lewat
patrol yang sering diserang dengan tiba-tiba atau oleh adanya aral rintang di permukaan
sungai, anak-anak sungai DAS, pihak belanda selalu mengupayakan mengadakan
perundingan. Sultan dengan teguh hati tetap menolak upaya belanda tersebut.
Sultan tidak mau berunding dan ini dinyatakan Sultan; "saya tidak mau
berunding dengan belanda, bila saya berunding tatap muka) dengan mereka, maka
hilanglah saya selama 40 hari".
Pada tahun 1894. Sultan Thaha akhirnya
mengizinkan Pangeran Ratu untuk mengadakan pertemuan dengan Roodt Van Oldenber
Nepelt di Muaro Ketalo. Sultan mengikuti perundingan dengan perwakilan belanda
itu dari kamar sebelah ruang pertemuan. Perundingan itu gagal, karena belanda
tetap menghendaki kesultanan Jambi berada dibawah kekuasaan belanda
(Nederlansch), sebaliknya Sultan tetap pada pendiriannya, bahwa urusan
kesultanan Jambi sepenuhnya tidak dapat dicampuri belanda. Dengan gagalnya
perundingan, pihak belanda tetap berupaya untuk menangkap Sultan. Untuk itu
penguasa belanda dengan gencar mengadakan patrol dan menambah personil untuk
menggempu pusat pertahanan Sultan di Muaro Tembesi. Sebelum tindakan militer,
belanda mengirim kepala staf angkatan perangnya GW Beeger ke Jambi untuk
mengkoordinasikan data inpurnakan, terutama mengenai sungai, jalan-jalan tikus
antar dusun di daerah Jambi, maupun jalan telijen dan informasi yang mendukung
operasi militer besar-besaran. Peta-peta topografi disempurnakan, terutama
mengenai sungai, jalan-jalan tikus antar dusun di daerah Jambi maupun jalan
kecil yang menghubungi Rawas dan Jambi. Data dan informasi tersebut segera
diolah, karena belanda mendapat informasi yang cukup merisaukan, yaitu adanya
penyelundupan senjata api repeater sebanyak 1500 buah.
Tanggal 4 September 1890
Kembali tim intel belanda dikirim ke sekitar Muaro Tembesi untuk mengamati dan
membuat perhitungan strategis militer menyusul adanya informasi pedagang dari
Sumbar yang diharuskan membayar cukai di Sungai Aro. Permulaan November 1900.
kapal-kapal penyelidik bersenjata sudah dekat Muaro Tembesi, tapi Show of Force
itu tidak dilanjutkan, karena belanda masih tetap berupaya mengadakan
perundingan. Selain itu pihak belanda sedang merampungkan program pembangunan
jalan darat dari Jambi ke Muaro Tembesi sebagai sarana pendukung mobilisasi
pasukan infantri dan peralatan serta perbekalan perang. Alur-alur sungai pun
semakin disempurnakan untuk pengerahan kapal-kapal perangnya dari Jambi.
Kapal-kapal penyelidik belanda yang berlayar sampai ke hulu Batanghari (Teluk
Kayu Putih), sepertinya tidak mendapat gangguan. Sikap penduduk pun cukup
bersahabat tidak memusuhi belanda. Rupanya sikap itu adalah sesuai dengan
perintah Sultan Thaha, agar belanda tidak curiga atau mencurigai adanya pos-pos
pertahanan pasukan Sultan. Sultan menilai gangguan terhadap kapal penyelidik
tersebut akan berentet pada mobilisasi pasukan yang lebih besar, sementara
Sultan sendiri saat itu sedang menghimpun kekuatan dan persiapan kemungkinan
serangan besar-besaran ke Muaro Tembesi.
Tanggal 21 Maret 1901 pasukan belanda
dari Palembang tiba dan membangun benteng di Muaro Tembesi tanpa ada bentrokan
dengan pasukan Sultan atau Pangeran Diponegoro. Kendati pendudukan belanda di
Muaro Tembesi berlangsung cepat, tapi belanda tidak berhasil mendapatkan
informasi tentang keberadaan Sultan dan pasukannya. Para kepala dusun atau
rakyat yang dipanggil "ambtenar" belanda tetap bersahabat tapi tetap
membungkam. Pencarian terus dilakukan atas dasar laporan Christian tertanggal
20 Februari 1901, bahwa Sultan Thaha berada di Pematang Dipo di Parunusan yang
terletak ditepian Sungai Tabir. Sungai itu telah disebari batang-batang kayu sehingga
kapal kecil pun tak dapat melayarinya. Dilain laporan, kepada komando angkatan
darat diinformasikan posisi penting jalan setapak antara Parunusan ke Pematang
yang harus dikuasai untuk masuk ke tempat berkumpulnya para pembesar
Kesultanan. Patroli harus sering dilakukan untuk mengganggu konsentrasi Sultan.
Dalain laporan tertanggal 12 Juni 1901, disarankan untuk bertindak tegas
terhadap Sultan dan menutup Muaro Tabir. Operasi penangkapan terus dijalankan
dengan pengerahan pasukan bersenjata atau setidaktidaknya mendorong Sultan
keluar dari persembunyiannya.
Suasana yang dianggap tenang oleh Belanda dalam
pendudukan di Muaro Tembesi, ternyata terganggu oleh penyerangan kedudukan
kontroler di Sarolangun tanaggal 30 Mei 1901, tanggal 6 Juni 1901 beberapa pos
ditepi Sungai Batanghari diserang pula. Lampu-lampu di seberang Muaro Tembesi
berhasil dilenyapkan oleh Pasukan Sultan pada tanggal 11 Juli 1901 dan tanggal
27 Juli 1901 pasukan patrol belanda ditembaki dengan gencar oleh pasukan
Sultan. Pada tanggal 13 Juli 1901 pasukan belanda yang sedang berpatroli di
Singkut ditembaki sehingga satu orang juru tembak belanda mati dan dua orang
lainnya menderita luka. Serangan serangan di Singkut tersebut mendorong belanda
menambah kekuatan pasukan Ambon dari batalyon garnizun Magelang. Perlawanan
semakin seru walau akhirnya pasukan Sultan meninggalkan Singkut dan tidak
seorang pun yang menyerah, Benteng-benteng perlawanan; Tanjung Limbur, Limbur,
Merangin, Pelayangan. Sekancing. Limbur Tembesi, Datuk Nan Tigo, Kuto Rayo,
Sungai Manau, Sungai Alai dan Muaro Siau secara berturut-turut berhasil
diduduki pasukan belanda.
Namun demikian Sultan Thaha dan pasukannya masih
tetap melakukan serangan-serangan secara bergerilya. Belanda akhimya
menggerakan pasukan-pasukan yang ada di Bayung Lincir, Sarolangun Rawas, Muaro
Tembesi, Sijunjung, Tebo dan Jambi untuk melakukan serangan serentak ke wilayah
Tabir setelah didapat kepastian posisi Sultan berada disana. Tampaknya strategi
penyempitan wilayah pertahanan dan perlawanan Sultan yang dilakubelanda cukup
efektif menjerat posisi Sultan Thaha. Rupanya anti gerilya belanda telah
mekomunikasi Sultan, belanda menerapkan serangan ovensif agresif dengan
dukungan pernil yang banyak dan persenjataan yang kuat. Personil intel yang
fleksibel dan akurat dari prajurit bumi (Belanda Hitam) dan isyarat seorang
Demang yang dipaksa belanda membuka rahasia keberadaan Sultan Thaha. Pasukan
infantri dipimpin Letnan G Badings menyelusuri Sungai Tabir menuju Bangko
Pintas tanggal 23 April 1904. Dari penapalan, Remaji dan Muaro Sungai Api
(Rantau Api) juga bergerak pasukan infantry tanggal 25 April 1904. Semua
pasukan tersebut serentak maju ke Betung Bedaro. Situasi tersebut sangat
disadari oleh Sultan yang pada saat itu di Rumah Becak Pematang Tanah Garo.
Malam itu tanggal 26 April 1904 Sultan berpesan pada Hulubalang "Menurut
gerak perasaan saya kemungkinan besar malam ini akan terjadi pertempuran. Kalau
itu terjadi musuh tidak akan dapat menyentuh badan saya hidup-hidup, karna saya
tidak rela kulit saya disentuh oleh musuh dan ditawan adalah pantang besar bagi
saya". Dan malam itu terbukti tekad perjuangan Sultan Thaha yang sampai
ketitik darah penghabisan ke bumi persada ibu pertiwi. Seiring munculnya teja
diufuk timur tanggal 27 April 1904, Sultan Thaha gugur dalam kancah desingan
peluru belanda dengan pedang masih tergenggam ditangan.
Benarlah tak ada kata
menyerah bagi sang Panglima. Sebagai seorang Panglima, Sultan Thaha Saifuddin
memegang prinsip sampai akhir hayatnya tidak pernah mau berunding dengan pihak
belanda. Sultan cukup menyadari bahwa setiap perundingan dengan belanda pada
intinya adalah pengekangan dan intervensi terhadap kedaulatan kesultanan Jambi
Untuk menghadapi siasat clicik belanda melalui perjanjian yang dipaksakan,
Sultan melancarkan perlawanan gerilia sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya
secara sporadic dibawah kepemimpinan Hulubalangnya dalam tiga front. Selain itu
sikap tidak mau bertemu belanda semakin memoles sikap politik Sultan dalam
menggelorakan semangat perjuanggannya yang belakangan menimbulkan keraguan atas
wafatnya Sultan di medan laga Betung Bedaro. Strategi gerilya Sultan dalam
format modern temyata mendapatkan anti gerilya ternyata cukup ampuh menekan dan
mempersempit posisi Sultan yang ditutup dengan serangan frontal, ovensif berkekuatan
besar. Walau kemudian belanda meyakini perang dengan Sułtan adalah perang tanpa
perdamaian. Pada saat terakhir ada upaya perlindungan terhadap Sultan yang
dilakukan oleh Pangeran Ratu Martadiningrat pada bulan Desember 1903. Pangeran
Ratu kembali ke Jambi dan menyerahkan keris kepangeranan Ratunya
"Singamarjayo" kepada Residen Palembang. Tindakan ini dilakukan
karena usia Sultan sudah lanjut (87 tahun dan selama 46 tahun dari umurnya
dalam perjuangan). Menurut belanda, bersama penyerahan keris Singamarjayo,
Pangeran Ratu juga menyerahkan keris (duplikat) "Siginje" sebagai
perlambang kekuasaan Kesultanan. Alur cerita ini seperti pertanda takdir akan
berakhimya perlawanan Sultan. Sultan Thaha memaklumi sikap proteksi terhadap
dirinya dari Pangeran Ratu Martadiningrat. Sedangkan belanda menyikapi langkah
itu dengan kesangsian besar bahwa tanpa keris Siginje pun Sultan Thaha akan
tetap melakukan perlawanan dan dia pun tetap dipatuhi sebagai Sultan. Karnanya
belanda kemudian tetap melakukan pengejaran terhadap Sultan yang tetap tidak
akan menyerah sampai titik darah penghabisan. Nilai kejuangan Sultan ini tetap
relevan bagi kita dalam pembangunan daerah disegala bidang, yaitu tanpa kenal
menyerah terhadap berbagai kendala dan keterbatasan. Sistem zoning dalam
perkuatan sumber daya merupakan salah satu perkuatan didalam kita menyikapi
wilayah kerja yang terlalu luas. Manajerial dan skill Sultan patut menjadi
pegangan dalam penanganan wilayah.
Sumber: Disadur dari buku SULTAN THAHA SAIFUDDIN
PAHLAWAN NASIONAL (Oleh: Drs H Junaidi T Noor MM)
Komentar
Posting Komentar